Gila, judulnya sungguh baper!
Sore itu adalah sabtu malam, atau malam minggu bagi khalayak lainnya. Semburat mentari sore menuju petang sudah nampak. Dan aku hanya bisa dag-dig-dug agar tidak hujan sambil bersiap untuk pergi.
Bukan!
Bukan persiapan malam-mingguan seperti khalayalak muda-mudi pada umumnya. Namun persiapan pulang kampung seperti biasa, yaitu Jogja-Sragen.
Ritual yang sudah sangat biasa bagiku, dan banyak orang lainnya.
Yang tidak biasa adalah, kondisi saat itu diriku sedang kurang enak badan. Hari sebelumnya bahkan diriku tidak masuk kerja. Kupikir hari setelahnya akan membaik, namun yang ada malah semakin gremeges dan ngliyeng. (sila cari sendiri di mesin pencari makna dua kata itu)
Dan aku malah nekat!
Ada dua hal yang selalu bikin was-was ketika berkendara. Yaitu saat malam, dan saat hujan. Ketika malam, atau saat hujan, penghilangan ini jadi menurun drastis.
Mata minusku dan astigmatisme cukup memprihatinkan.
Maka dari itu, aku pun berkendara cuma bisa pakai perasaan. Iya, baper. Melulu bisa jadi pertaruhan nyawa yang terbesit di dalam pikiran buruk ini. Kalau sampai ada apa-apa gimana ya? Kubayangkan wajah Ibuku, dan keluargaku. Memang benar tulisan di pinggir jalan itu… “Hati-hati di jalan, keluarga menanti di rumah.”
Aku pun cuma bisa berharap pada-Nya, tolong jangan hujaaaaan~
Setiap berkendara, aku sering membayangkan skenario terburuk, yaitu berkendara saat malam dan hujan deras.
Tapi sore itu aku menyadari itu bukan apa-apa.
Aku membayangkan skenario lebih buruk dari yang terburuk :
BERKENDARA DI SAAT MALAM DAN HUJAN DERAS DI KALA KONDISI KURANG FIT!!!
Lengkap sudah dan aku cuma bisa mringis.
Belum hujan, namun kesialan sudah hadir. Ketika sedang ngebut di jalan Solo, tiba-tiba rem depanku blong. Beruntung aku bisa engine brake. Ya walaupun sambil dimarah-marihin orang sih. Dan kemudian aku berhasil menepi dan sok-sokan liat-liat mesin motor padahal tiada ngerti. Nampak biasa. Aku teringat ketika cakram belakang kemarin yang sampai rusak karena lupa ganti kampas rem. Cakram rem nampak biasa saja bagus, agar yakin kucoba sentuh cakramnya dengan jemariku.
PAAANAAAAASSSSS!!!!
Tidak kusangkan cakram belakang di motor bisa sepanas itu. Bahkan kurasa sepanas knalpot atau lebih. Jemari dan diriku reflek mengaduh sejadi-jadi. Jemari telunjukku memerah dan membengkak tiba-tiba. Rasa sakit dan nyerinya sampai ke ubun-ubun. Hampir teriak-teriak namun agak malu jadi kutahan-tahan. Telunjukku melepuh bengkak cenut-cenut. Haduh.
Aku mampir sebentar untuk ke bengkel. Motor sudah kembali normal. Tapi jemari masih cenat-cenut. Aku hanya bisa melanjutkan perjalanan sambil menahan nyerinya telunjukku yang melepuh.
Sampai ke Delanggu hujan deras. Uh!
Sampai ke Kartosuro macet! Uh!
Aku bukan mengeluh, tapi mengaduh telunjukku yang melepuh. Namun secara tidak sadar, aku sudah tidak merasa demam dan pusing lagi seperti ketika berangkat. Terasa sangat sehat. Hanya saja sebagai gantinya nyeri di telunjuk yang cenut cenut cenut cenut terus menerus hingga sampai rumah (bahkan beberapa hari). Tapi sungguh, aku sudah tidak merasa flu demam dan sakit kepala gara-gara sakit jemari melepuh!
Hmmmm, jadi harus dengan rasa sakit lainnya agar rasa sakit hilang?
Postulat yang amat buruk.