Di depan rumahku sebenarnya ada satu-satunya rumah manusia, namun sayang itu yang cukup jauh untuk aku versi mini untuk bisa sering-sering main dan berselancar ke sana.

Di belakang rumahku adalah semacam halaman belakang kantor pemerintah yang sudah ditinggalkan. Jadi rumahku dan kantor pemerintah tersebut adalah saling berlawanan muka marahan, pun terpisah tembok pula.

Sepi.

Dan sekedar pohon-pohon pisang yang buahnya menguning pun tidak ada yang monyet yang bakal melirik. Karena memang tidak ada monyet. Dan tidak banyak manusia juga.

Di samping kiri rumahku adalah terdapat hutan mini berisi pohon-pohon cengkeh raksasa, yang kadang-kadang aku disapa ular. Untungnya aku lama-lama terbiasa untuk ber-haaaai-ria dengan mereka.

Sungguh!

Di samping kanan rumahku adalah lapangan sepak bola yang luasnya minta ampun bagiku saat itu yang aku masih mini, sehingga bagiku yang masih mini, desa sebelah di seberang lapangan tersebut adalah surga.

Ada warung bakso.

Ada toko.

Ada manusia.

Dan sekeliling dari sekeliling kanan, kiri, belakang dan depan adalah kebun teh membentang jauh, seingatku. Lantas bagaimana dengan rumahku sendiri?

Yang kuingat adalah terdapat televisi hitam putih yang tiap sore sekumpulan anak manusia entah dari mana berjejalan untuk nonton ksatria baja hitam. Namun, kenapa malah cerita tentang rumah bukan tentang aku?

Memangnya aku bisa ingat waktu-waktu sebelum aku umur 5 tahun?

Jangan-jangan itu cuma imajinasiku.

This site uses cookies to personalize content. Learn more.