Hai kamu…
Mungkin ini saapan awal yang tepat untuk surat ini dan surat-surat selanjutnya.
Semoga saja iya. Entah.
Jika surat pertamaku dan surat keduaku jauh dari format surat cinta. Saya harap ini lebih mendekati. Jadi sesuai yang tersebut pada surat pertamaku, aku selalu mengaku-aku bahwa aku pecandu kamu. Maka dari itu, saya ingin bercerita tentang kamu dalam pengamatanku. Dan menuliskan beberapa sebab candu kamu itu.
Yang pertama.
Senyum kamu itu. Iya, lucuk sekali, eh maksud saya dua kali. Entah, pokoknya enggak cukup sekali duakali. Lucuk banyak kali. Sesungguhnya takdir apa waktu itu beberapa kesempatan tak terduga itu. Saya melihatmu membawa-bawa senyummu di hadapan publik. Dan saya adalah salah satu yang mengkonsumsi elemen berbahaya itu. Aku sendiri enggak tahu berapa orang yang akhirnya mencandu karena senyummu waktu itu. Tapi aku tahu, aku adalah salah satunya. Entah!
Yang kedua.
Kemenonjolan kamu itu. Kalo di kebunku kutanam tomat, maka kamu adalah tomat yang berwarna jingga cerah dengan ukuran melonjong panjang jika ditidurkan dan tinggi jika ditegakan. Saya enggak tahu seenak apa kamu, entah kamu penyakitan atau tidak, berdampak buruk atau tidak, tapi kamu itu paling beda jika dilihat secara sekilas. Mungkin rambutmu yang diwarnai ngejreng itu. Atau problematika gigantisme yang membuat tinggi di atas rata-rata itu. Tapi kalo gigantisme kenapa kamu kurus ya. Entah. Yang jelas, kamu bukan tomat biasa, tapi kamu yang beda. Dan mungkin bikin penasaran apa sih sebenarnya kamu itu. Entah!
Yang ketiga.
Tingkah kamu itu. Kamu terlihat selalu ceria. Kayaknya sih. Entah!
Yang keempat, penginspirasiku.
Ini serius. Sebenarnya banyak inspirasi yang diambil dari kamu. Tapi kamu enggak tahu itu. Kayaknya sih. Entah!
Yang kelima, sandal jepitmu. Mereknya apa sih? Entah!
Yang keenam, kaos oblongmu. Kainnya sutra ya? Entah!
Yang ketujuh, kekonyolanmu itu. Eh, jangan-jangan kamu pelawak. Halah. Entah!
Delapan.
Sembilan.
Sepuluh.
Yak, inilah akhirnya, dimana aku semakin melantur menulis apa-apa dan bukan apa-apa di sini. Mereka-reka penyebab candu.
Dan jika kamu amati, kata entah keluar banyak kali kan? Ini menunjukkan bahwa ketidaktahuanku akan asal usul candu itu. Jika begitu, kabar buruknya lagi-lagi surat ini jauh dari surat cinta. Ini seperti surat hasil pemeriksaan atau semacam cek up. Mendekati malpraktek.
Akhir kata. Maafkanlah. Eh, maafkanlah maafku kali ini. Seharusnya saya tidak perlu meminta maaf lagi karena sudah terwakili oleh surat saya yang kedua. Iya. Jadi sudahlah. Sudah, semoga lain waktu terjawab.
Salam tak berkesudahan azas praduga tak bersalah,
Pecandu Kamu