gizipp gixipp gps Gito akhirnya pulang kembali ke desanya.

Sudah hampir 3 tahun ia pergi dari desa ini untuk keliling dunia. Mbah Gimin yang dulu hanya bisa merelakan kini bisa tersenyum lega. Cucu semata wayangnya yang dulu sering ia dalangi wayang itu ternyata masih hidup, masih punya kaki, masih bernafas dan masih punya semangat berlebih seperti saat dia pergi diam-diam.

Kecuali Gito masih suka wayang.

“Iki mbah, wis gaul iki!!! Ora wayang.. iki jenenge papertoy! Papertoy idol jeketi forti eksss, ayuuu ayuuu mbaaah! Imuuuuut!”

Gito menunjukan banyak barang-barang yang ia keluarkan dari koper-kopernya. Bola bekel bikinan Rusia. Korek api bikinan suku Eskimo. Boneka Voodo asli dari Hawaii. Buku tutorial memancing cewek Jepang. Hingga ChromeBook versi 6.2 yang disertai Glass sebagai alat penunjangnya. Apa saja! Yang tentunya sang kakek tidak mengerti itu.

Namun apapun dan bagaimanapun itu, Mbah Gimin tetap bersyukur.

Bagi Mbah Gimin, tidak ada harta yang lebih berharga dibanding cucunya. Dia sudah tidak punya apa-apa lagi. Anak satu-satunya beserta istrinya mendahuluinya tanpa pamit. Istrinya Mbah Gimin sih mending, ada tanda-tanda saat pergi, berupa batuk-batuk dan sakit hati. Cuma cucunya Gito adalah yang belum pergi. Mbah Gimin merasa lebih baik pergi duluan daripada melihat Gito pergi duluan. Dan tiga tahun yang lalu yang Gito pergi sementara adalah hal berat yang dialami Mbah Gimin.

Bagaimana tidak? Rencana pergi duluan Mbah Gimin gagal total.

“Wis tho mbah, nyantei! Ora usah kuatir! Saiki kui era digital! Opo-opo gampang! Ra bakal nyasar! Ngene lho mbah… wingi pas kulo ing Mauritius… kulo iso nyebrang nganti.. bla bla bla”

Mbah Gimin hanya bisa mengangguk-angguk. Nafasnya terasa lebih sesak seperti dibanding biasanya. Mungkin itu adalah lepasan kebahagiaan melihat cucunya sudah dewasa, mandiri, percaya diri dan berdikari yang ia sudah nantikan. Mbah Gimin sudah puas. Dan Mbah Gimin sudah pulas. Mbah Gimin memutuskan untuk pulas sekali.


Dengan kecepatan melebihi kecepatan pikiran Gito yang lambat, ia larikan Mbah Gimin yang males bernafas ke Rumah Sakit terdekat. Tak sempat ia bertanya ke tetangga, karena itu merepotkan. Dengan GPS yang sudah terpasang di mobilnya, dengan sedikit ceklak-ceklik, dengan itulah Gito berangkat ke Rumah Sakit terdekat sekitar 12 Kilometer dari rumah Joglo Mbah Gimin. Pikiran dan otak Gito boleh lambat, tapi teknologi yang semakin cepat dan Gito sangat sadar bagaimana memanfaatkannya.


“Yaaaampun Gito. Ngapain jauh-jauh??? Di deket sini kan udah ada rumah sakit!?? CUMAAAAN 120 Meter!!!”

Gito terhenyak. Tapikan… teknologi GPS kebanggaan dia tidak mendeteksi rumah sakit baru itu, batinnya membela diri.

Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia hendak menangis. Tapi tertahan. Dan dia tahu satu hal, yaitu bahwa kini dia tidak punya alasan lagi untuk kembali ke desa ini. Dan artinya dia bebas untuk pergi kemana saja. Kemana pun yang ia suka. Kemanapun ia ingin cerca. Kemanapun ia ingin derita.

Dan sedetik kemudian, Gito memutuskan tertawa keras sekali. Keras! Sangat keras hingga ia berharap orang menganggap keras tawanya dia itu agar Tuhan bisa mendengarnya padahal tidak.