Geong tidak mengerti, kenapa talenan miliknya tidak semenarik milik saudara-saudara sepupu-sepupu atau sepaha-paha dia. Atau malah Geong sangat mengerti?
Yaitu mengerti bahwasanya talenan miliknya benar-benar beda… alias talenan milik mereka bukan talenan. Dan talenan miliknya sangat benar-benar talenan. Sebuah benda seukuran talenan milik mereka itu bisa menyala dalam gelap. Juga bisa menyala dalam terang. Ajaib!
Dan poin plusnya adalah bisa bersuara, bisa bergetar, bisa memberikan gambar gerak-gerik lucu, dan… bisa membuat senang.
Dan kabar buruknya Geong cukup mengerti apa itu senang, dan apa itu tidak senang. Ketika dia senang, dia tertawa. Dan ketika dia tidak senang, dia menangis. Begitulah balita, bawah lima tahun. Sedang Geong baru berumur 2 tahun lebih 3 bulan lebih 11 hari. Dan wajar Geong lebih sering menangis, karena talenan miliknya beda.
Bagi Geong, talenan miliknya tidak begitu menyenangkan.
“Sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan rupiah! Pas! Tidak boleh lebih!” Jawab penjual roti bakpao sebelah. Dia tidak jual bakpao. Memamerkan talenan anaknya yang sukses usaha membuat Geong semakin menjadi-jadi dalam menangis. Dan sebenarnya bukan tidak ada yang bisa mendengarkan tangisan Geong.
Sejujurnya, ayah Geong, Professor Rian Giiks sangat tahu itu. Tapi ia memilih membiarkan Geong menangis.
Professor Rian Giiks hanya sedih mengingat tangisnya dia sekitar 20 tahun yang lalu. Betapa euforianya dia dengan mata kuliah Human-Computer Interaction (HCI). Bagaimana manusia berinteraksi dengan komputer. Bagaimana komputer bisa berinteraksi dengan manusia. Dan bagaimana interaksi manusia dengan komputer. Dan bagaimana interaksi komputer dengan manusia.
Dan juga tentunya bagaimana interaksi komputer dengan komputer. Dan juga tentunya bagaimana interaksi manusia dengan manusia. Iya! Manusia dengan manusia, semenjak ada pemisah: komputer.
Ketika 20 tahun lalu Professor Rian Giiks memegang dan menggunakan mouse pertamanya, dia menangis!
Ceklak ceklik! Ceklak ceklik! Ini adalah awal lompatan revolusi manusia dan revolusi komputer untuk saling berinteraksi lebih intens, intim, dan indah.
Berpuluh tahun kemudian. Dia menangis lagi.
Melihat anak-anak seusia Geong tidak berinteraksi normal dengan anak-anak lainnya. Mereka dengan dengan canggihnya, slide, tap, tap, tap, slide di usia yang belia. Dan orang tua mereka bangga. Termasuk bapak penjual bakpao.
Hanya Professor Rian Giiks yang tidak bangga. Ia malah semakin merasa bersalah pada umat manusia. Gelar profesornya ada berkat kontribusinya terhadap bidang keilmuan HCI. Dan HCI telah membunuh interkasi umat manusia. Dan kini Profession Rian Giiks berharap ada orang yang mau memaafkannya, setidaknya itu adalah Geong.