alien gizipp gixipp Pak Abdullah, Guru sekaligus kepala sekolah Madrasah satu-satunya di desa renta ini menghampiriku. Senyumnya selalu hadir bahkan ketika mata belum sempat bertemu. Aku tidak mengerti mengapa dia selalu berusaha menghias muka lusuhnya dengan senyum itu. Sepertinya palsu. Ah, aku sungguh yakin itu. Tapi sudah tentu sedikit banyak murid-murid di sini cukup bodoh untuk tidak menyadari itu.

Sepuluh dari sembilan siswa sekolah ini pasti sepakat bahwa Pak Abdullah adalah figur paling inspiratif di dunia mereka. Di pulau kecil ini. Di desa renta ini. Ia adalah guru yang gemar bercerita hidup, kehidupan, dan bagaimana hidupnya menjalani hidup seperti manusia sok hidup. Dengan cerita yang hidup, ia ceritakan dengan balutan canda tawa di mana-mana. Mereka yang mendengar merasa hidup, dan mereka terpaksa menikmati hidup.

Tapi tidak untukku.

Sungguh! Pada akhirnya kita hidup untuk mati. Kita hidup, lalu mati. Seperti apapun hidup kita, akhirnya juga mati. Kita cuma seonggok organisme yang tidak ada ubahnya seperti amoeba, namun… hanya berfisik lebih beruntung. Ataupun seperti kucing yang rumornya bernyawa sembilan, tapi hasil uji cobaku, kucing juga mati sekali tembak.

Ah, pak Abdullah. Maaf, aku pikir dunia hidupmu terlalu mengada-ada. Kita tidak perlu hidup muluk-muluk. Dan aku yakin itu. Jika saatnya mati, ya biarlah mati. Jika sedang hidup, nanti juga mati. Karena semua mati serba tiba-tiba, ayam, burung, ayah, ibu dan kucing. Dan jika pak Abdullah tiba-tiba duduk disampingku begini, sudah sewajarnya aku tidak kaget. Hanya sekedar kepikiran dan memikirkan apa-apa.

Tapi ia cuma diam. Diam ingin seolah berkata sesuatu, namun menjadi enggan berucap tepat ketika aku menatapnya dalam-dalam. Tentu sebenarnya aku mengabaikannya. Ada apa dengan orang ini tiba-tiba muncul disela-sela perbincangan otak dan akalku. Tapi ia tetap cuma diam. Kini ia emilih mengamati beberapa siswa seangkatanku lainnya yang saling mencoret-coret baju seragam dengan gambar dan tulisan rupa-rupa. Dari tanda tangan, tulisan pesan kesan, hingga surat pengakuan cinta bak novel romansa dalam versi lebih mini. Inilah perpindahan nuansa komedi itu. Perpindahan lucu yang tidak aku mengerti. Sedangkan aku hanya duduk di sini. Tidak mengerti mengapa mereka melakukan hal-hal sia-sia seperti itu. Toh mereka paling-paling ke sekolah ini lagi dan bertemu di satu kelas lagi. Di sini kan tak banyak sekolah. Kenapa bersuka cita, ah maksudku bersusah payah untuk hidup? Besok mungkin diantara mereka mungkin mati. Dan akhirnya tidak bertemu di satu kelas lagi.

Kuputuskan beranjak pergi. tentu tanpa pamit kepada siapapun, termasuk Pak Abdullah yang sedari tadi duduk di sampingku. Namun kini ia membuka mulutnya, pelan tapi pasti.

“Pergilah! Pergi yang jauh!”

“PERGI!!”

Teriaknya tiba-tiba. Kini aku tersentak. Kini aku tergerak. Oh Abdullah, kini kau munculkan watak aslimu ya, aku salut… bahagia.

“Desa ini terlalu kecil untuk Alien sepertimu! Pergi! Pergi sekarang juga!” Matanya seperti mengusir, namunnya senyumnya masih ada. Namun aku masih tak mengerti arah pembicaraannya ini. Yang saya ketahu saat ini ialah waktu ini seperti di sinetron yang tempo hari kulihat kala senggang.

“Di sana… di tempat itu… jauh di sana yang kamu belum tahu di mana itu… kamu mungkin akan menemukan Alien lain sepertimu.” “Percayalah!!!”

“Maka.. pergilah! Jauh-jauh dari sini!”

Alien? Sedetik kemudian, aku sedikit menyadarinya. Selama ini aku selalu sendiri. Aku terlalu berbeda. Tapi apa benar aku terlalu seperti alien? Tapi aku tidak punya kemampuan ESP apapun!

Ah sudahlah, aku seharusnya segera pergi dari sini. Aku pun mengayunkan kakiku cepat sekali. Sangat cepat, segera ingin pergi dari sini ke tempat itu. Tempat yang aku belum tahu di mana itu. Tanpa menoleh kebelakang lagi. Benar, duniaku saat ini terlalu sempit. Aku harus pergi, melihat dunia, menyebrang dunia, dan menendang dunia. Dan menemukan yang sepertiku lainnya, hingga aku bisa bercerita kehidupan kembali. Aku pergi. Pergi.

“Dan… ketika telah kau temukan Alien-alien sepertimu, maka seharusnya kamu tidak perlu sendirian lagi seperti ini…” Ucap pak Abdullah untuk terakhir kali sayup-sayup… atau itu hanya dalam delusiku ia berucap begitu? Mungkin.