“Sudah… sudah bisa….” Ujarku menyampaikan kondisi terbaru berupa kabar bahagia itu. Aku sendiri cukup kaget dengan kejeniusanku. Atau Google, tepatnya!

“Waaah, makasihya…. “ Ujarnya dengan imut, “Makasih yaaaa…. Gema!” dan tone yang amat ceria membuatku getir.

Seperti apa tone ceria?

Aku sebenarnya punya definisi tersendiri mengenai hal tersebut beserta tone ceria. Namun, sudahlah! Yang jelas itu tidak seperti printer yang ada di depanku ini, yang tone warnanya sudah pudar. Yang harus aku akali agar jiwanya kembali hidup. Kurendam dengan air panas mendidih, dan ia akhirnya lancar kembali.

Clogged catridge!

Aku raih daftar dokumen yang harus Rosie cetak. Kuteliti satu-satu, dan kupertanyakan akankah ini akan terlalu kebanyakan dan memberatkan. Karena catridge, sebuah jiwa dalam seonggok printer sebelumnya hampir wafat. Sungguh kasihan jika ia harus menanggung kerja rodi sekali lagi.

“Untuk sementara, kalau mau cetak, terutama kalau ada warna, jangan banyak-banyak dulu ya…” Gadis ini mengangguk-angguk. Manis, pikirku.

Kusampaikan pula beberapa hal yang perlu ia(1) ketahui agar ia(2) tidak wafat. Tidak hancur lebur. Ia(1) adalah Rosie. Ia(2) adalah catridge.

Sesungguhnya, catridge adalah jiwa dari sebuah printer. Jika ia(2) hancur lebur habislah sudah. Aku sungguh lelaki yang hebat, yang sangat tahu bagaimana merawat ia(2) agar tetap memberika tone terbaiknya. Bahkan sampai-sampai bisa menghidupkan kembali ia(2) yang sudah kritis. Aku kagum pada diriku sendiri. Dan Rosie mengangguk-angguk saja nampaknya. Semakin manis, pikirku. Dan ini saatnya aku pergi.

Namun… “Gema… Aku.. Aku….” Tangan Rosie meraih jemariku yang belepotan terkena tinta. Diam. Ketika jemari dua manusia berjenis kelamin berbeda saling bersentuhan, terasa benar sesuatu yang mengalir dalam tubuh kita ini menjadi arus deras. Bukan lagi sekedar sungai tenang yang tetiba menghanyutkan. Melainkan gemuruh! Siap membabi buta menggelegar! Terdiam. Ketika mata dua jemari berjenis kelamin berbeda saling bertatapan, terasa sekali dunia ini saling terhubung dalam kabel-kabel tak terlihat dan sarat informasi. Dan makanya sedikit banyak aku mengerti maksudnya gadis manis ini. Tapi…

Tapi sesungguhnya selalu saja ada sesuatu yang mengganjal di antara jemariku dan jemarinya ini. Dan itu cukup untuk menyadarkanku kembali. Aku adalah seorang pria! Pria sejati, dengungku. Dan dan aku sadar akan itu.

“Maaf Rosie…” Mulut keluku akhirnya berucap.

“Aku sungguh tidak bisa menerimanya…” Dan benar seperti biasanya, Rosie nampak kecewa. Ini memang bukan pertama kalinya. Tapi untuk selalu menolaknya sekian kali dan berulang kali, adalah selalu merupakan dilema. “Maaf Rosie, aku bukan tukang reparasi komputer…” Ku kembalikan selembar uang 50 ribu itu yang mengganjal di antara jemariku dan jemarinya dan berlalu.

Ah, sebenarnya itu cukup untuk makan beberapa hari, pikirku.