Aku di sini untuk bertemu kampung halamanku yang sudah hampir 15 tahun tak aku temui. Namanya Pujiantoro, teman SD paling goblok yang aku utus untuk mempertemukan aku kembali dengan kenangan kampung halamanku itu.

“Kamu kerja apa sekarang?”

“Saya yo mung anu mas, nyawah.. karo mung ngopeni wedhus!”

Pujiono sejak kecil sudah terbiasa memanggil ‘mas’, maklum karena di desa ini aku cukup dipandang tinggi. Anak mantri.

Pun dibanding menganggap sebagai teman, aku lebih terbiasa menganggap dia babu. Otaknya yang goblok. Gampang disuruh-suruh. Perawakannya yang kurus kerempeng. Kulitnya yang item kusam. Kedua kakinya yang membentuk huruf O. Iya, selain kurang perawatan, dia kurang gizi sejak kecil. Itulah ingatan masa kecilku dulu. Dan kini pun dia masih bertampang begitu.

Setelah lulus SD, keluargaku pindah ke Akihabara, Jepang. Ini karena sejak kecil kedua orangku adalah seseorang otaku dan dari dulu ingin tinggal di Jepang. Bertahun-tahun di Jepang membuat gagap anti-teknogi akan terbelakangnya negara Indonesia. Tiba di Indonesia beberapa minggu yang lalu dan masih belum terbiasa betapa merepotkannya tinggal di sini.

“Saiki wis tingkat mas! Wis maju tenan!”

Aku cuma mengiyakan. Di depanku adalah SD tempat aku menuntut ilmu dulu. Tak ada perubahan sih. Cuman, iya, sudah tingkat!

Aku tiba-tiba tersenyum.

Dan aku mulai bosan dan menyesal kembali ke sini untuk alasan yang tidak pasti begini. Aku pikir aku bisa menghidupkan banyak lentara nostalgia yang telah lama padam tentang masa kecilku. Namun aku salah. Tidak ada sedikitpun hal yang menarik dan menggugah hati untuk tinggal lama di sini. Setidaknya sampai detik ini.

“Ayo mas, ndang mangkat! Wis telat iki! Wis mulai!”

Sumber data ada di perempatan itu. Di mana ibu dan mbokdhe-mbokdhe ngumpul disitu. Dan itu adalah tempat strategis untuk database sekaligus jalur keluar masuk informasi dilewatkan. Dan menurut Pujiantoro, gadis-gadis Jepang berpakaian seragam dengan rok pendek-pendek seksi bakal joget-joget di lapangan desa. Dan informasi itu benar, karena didapatkan dari perempatan penuh informasi itu.

Dan siapa yang tidak ngakak?

Saya memang tidak punya hape. Tapi saya punya alat penangkap gelombang suara nomer satu di Dunia. Telinga! Itu pasti. Canda mbokdhe-mbokdhe pengumpul informasi, Pujiantoro dan seantero budak teknologi.

Dan benar saja, AKB48 dan panggung megahnya ada di situ.

Kemudian aku memutuskan untuk pingsan. Kusebut itu sistem informasi mbokdhe-mbokdhe (SIM) sesungguhnya.