“Jarak antara Jogja Sydney jika di tempuh dengan kecepatan 64 kbps itu butuh berapa lama?”
Aku di sini bertanya-tanya. Dari subuh menjelang mentari pagi yang kini semburat cerah menyapa jendela. Tapi aku masih menatap langit buatan di langit-langit kamarku. Langit-langit yang sengaja dia dan aku gambar untuk merayakan kesadaran kita berdua akan luasnya semesta. Katanya, aku Venus. Dan dia Mars di semesta langit-langitku itu. Yang memang sengaja digambar berjarak beberapa puluh sentimeter saja karena tidak mungkin juga kami gambar dengan skala sebenarnya. Kita lebih dekat dari yang kita pikirkan, katanya sok bijak.
Dan kini… LDR.
Akronim yang aku bayangkan saya tak berani. Menjalin hubungan dengan terpisah jarak seperti itu memiliki resiko yang besar. Dari kemampuanku, juga dari kemauanku. Ya, aku tak bakal mampu. Dan aku tak akan mau! Benar! Aku tak mau!
“Aku nggak mau LDR! Kamu pikir aku bisa hidup tanpamu? Enggaklah! Baru sehari saja aku udah kangen gini, apalagi berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun! Nggak mau!!!”
Hatiku berbicara lebih jujur dari mulutku. Menirukan dialog drama Korea yang beberapa hari lalu aku tonton.
Tapi ini salahku. Terlalu banyak mengiyakan banyak hal darinya hingga lupa kata kapan seharusnya aku berkata tidak. Dan kini banyak penyesalan yang terjadi. Haruskah aku salahkan pria lebih mengandalkan logika daripada hati? Entahlah!
Tapi menurutnya, Jogja - Sydney bisa di tempuh beberapa detik! Ia beterima kasih teknologi. Kini dia pergi. Dia, lelakiku pecandu teknologi bukan pencandu aku. Hari ini, aku mengakuinya. Aku kalah pada teknologi.