Baru saja kutusuk seseorang dengan ludahnya sendiri, sebab ia meludah sembarangan pada seseorang lainnya.

Iya!

Sebab karena tingginya manusia dan kemanusiaan manusia yang menjadi-menjadi, menjadikan sebagian darinya merasa lebih dari sekedar superiority complex yang membunuh.

Iya!

Sebab karena rendahnya manusia dan kemanusiaan manusia yang menjadi-menjadi, menjadikan sebagian darinya merasa lebih dari sekedar inferiority complex yang membunuh.

Menjadikannya ia merasa halal untuk menggigit, mengoyak, dan menginjak sebagian manusia lainnya yang lebih rendah, atau merasa lebih rendah.

Menjadikannya ia merasa halal untuk digigit, dikoyak, dan diinjak sebagian manusia lainnya yang lebih tinggi, atau merasa lebih tinggi.

Lantas?

Maka kubunuh ia, entah mati, atau tidak. Dalam usaha percobaan, ala kadarnya.

Semoga setidaknya sekedar pingsan, atau sekarat.


Maaf, ini pernah terjadi sekali, usaha pembunuhan!

Hanya saja, aku terlampau terhanyut pada harapan bahwa benar setiap manusia dilahirkan telanjang, sama, bulat oleh fitrah-Nya.


Aku khilaf.

Aku lupa.

Bahwa, manusia ialah tinggi. Setinggi-tingginya kerendahan paling rendah, merendahkan!

Ada rendah, ada tinggi.

Dengan disertai kelupaan disengaja, bahwa semua manusia menginjak bumi, dengan bumi penuh kerelaan untuk diinjak, dan manusia pun malah memilih menginjak manusia lainnya, seperti kebiasaannya menginjak kecoa.

Agar apa?

Agar lebih tinggi!

Tinggi!

Dan tinggi!

Dan apa yang lebih lucu?

Dan manusia lainnya yang diinjaknya, dengan penuh kerelaan diinjak-injak, mendiamkan, demi tingginya manusia lainnya, ia merendahkan diri, untuk meninggikan manusia lainnya.

Lupa, dan sengaja melupakan.

Hah?

Tak percaya?

Tertawa sajalah tak apa, selera humorku memang luar binasa, jika kau tak percaya padaku.


Namun, jangan khawatir.

Itu tak akan terjadi dua kali, usaha pembunuhan tersebut!

Semoga.

Sungguh.

Jangan khawatir.

Mengapa?

Karena, aku akan kembali.

Jangan bilang-bilang, ini rahasia : “Aku makhluk Mars!”

Aku menyembunyikan diriku, mencoba tak terlihat.

Aku pengamat, fenomena alam injak menginjak semesta bumi.

Aku kembali, pada makluk Mars berkedok manusia bumi, yang tidak peduli, dan tetek bengeknya.

Aku seharusnya tidak peduli, diinjak, menginjak, melihatnya.

Dan, ijinkan aku kembali ke duniaku.

Selamat tinggal, diriku yang lainnya.


Namun, semoga besok, dan doakan saja, aku kembali khilaf, dan kembali, kembali, kembali dan kembali lagi, sok menjadi dan peduli menusia bumi, biarin.

Karena manusia bumi, sudah tidak ada yang manusia bumi lagi, hanya ada manusia bumi berkedok makhluk mars, sepengamatanku hingga detik ini.


Yogyakarta, 5 Agustus 2015

Setelah kelupaan bahwa diriku hakikatnya adalah makhluk Mars, serta merta keasikan jadi manusia bumi dan segala persoalannya.