Hai, atau Halo, atau.. Apa ya…

Jika Anda membaca tulisan ini, maka dipastikan Anda bertanya-tanya apa ini, dari siapa ini, untuk apa ini, dan bolehkah merobek-robek kertas ini.

Iya, jika Anda merasa surat ini benar seperti surat tagihan listrik sih. Sebenarnya ini sebuah surat suka, atau surat cinta, atau apalah namanya. Saya juga ragu-ragu menyebutnya apa. Karena ini kali pertama saya menulis seperti ini. Jadi saya juga bingung harus bilang bagaimana dan ini apa.

Namun, jika Anda berharap ini adalah surat cinta romantis, yang di tulis tangan, dengan pena emas, yang dijejali contekan kalimat romantis Shakespeare, maka maafkanlah, saya telah memupuskan ekspetasi Anda. Ini jauh dari kata romantis. Tapi percayalah, ini dekat kata dengan jujur kok.

Ah, maafkanlah saya lagi, jika saya lancang menyuruh Anda percaya begitu saja. Memang iya, kenal dalam mimpi saja tentu bukan acuan saya sesukanya mengirimi semacam surat suka seperti ini kepada Anda. Atau jangan-jangan ini sebuah surat duka bagi Anda. Ah, maafkanlah saya lagi, dan lagi. Namun, surat ini bagus kok. Ditulis dengan jenis huruf calibri yang modern. Ukurannya pun sebelas pas. Biar enak dibaca sih. Di balut amplop putih seperti amplop gajian saya. Kertasnya juga putih HVS 70 gram. Biar terlihat bersih. Biar bagus juga. Ini serius.

Lalu, bagaimana isinya?

Maafkanlah saya lagi dan lagi dan sekali lagi, Surat cinta ataupun suka ini ternyata tidak muluk-muluk bilang cinta. Karena saya sadar ini bukan drama Korea. Mungkin lebih tepatnya ini adalah surat pengakuan, karena formatnya ngaku-ngaku, padahal Anda saja belum pernah tahu siapa saya. Iya. Lalu? Untuk itu, selanjutnya, bolehkan saya memanggil Anda dalam sapaan kamu? Dan memanggil saya dalam sapaan aku. Biar pernyataan aku mengaku itu benar. Mengaku-aku itu benar. Dan mengkamu-kamu itu juga benar. Bukan lagi menganda-nganda. Ataupun menyaya-saya. Apalagi sekedar mengada-ada. Jadi konsep aku dan kamu di sini sebenarnya jelas pada teori Sebab-Akibat.

Kamu ini bukan alkohol, rokok dan narkotika. Tapi saya sungguh bingung. Kenapa Anda sungguh membuat candu. Iya. Hanya saja, mungkin karena candu saya kepada kamu telah mecapai titik batas, hingga aku keceplosan lancang menuliskan surat ini. Dan maafkanlah lagi (semoga saja ini yang terakhir), dengan benar ijinkan aku untuk mengaku, bahwa dengan segala kelancanganku, aku telah mencandu kamu dari dulu tanpa kamu tahu. Iya, mencandu kamu. Sudahlah, sementara ini, aku cuma ingin menyampaikan pengakuan ini. Candu aku kepadamu. Dan percaya atau tidak. Bahwa menjadi pecandu kamu itu sulit. Mungkin tidak sekarang aku bisa menyampaikannya bagaimana sulitnya. Yang jelas, aku kini mulai berpikir jangan-jangan candu ini butuh kamu sebagai penawarnya. Jadi, sebelum tinta ini habis saat dicetak, ijinkanlah kamu tahu, bahwa ada aku ‘Pecandu Kamu’, dan aku berharap, ada kamu ‘Penawar Aku’

Sekian, semoga surat ini diterima dengan baik, salam tawar menawar penawarku,

Pecandu Kamu